![]() |
| Rapat paripurna penetapan hasil evaluasi APBD Kota Bima 2026 |
Penolakan tersebut disampaikan dalam rapat internal DPRD Kota Bima
yang membahas tindak lanjut hasil evaluasi APBD 2026.
Ketiga fraksi, Nasdem nyatakan tak berpendapat dan fraksi Golkar bersama fraksi Merah Putih (Gerindra dan PDIP) menilai usulan penambahan anggaran muncul secara mendadak dan tidak melalui mekanisme perencanaan yang matang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sementara
sesuai regulasi, sesuai SK evaluasi Gubenrur NTB dilarang memasukan kembali anggaran
untuk program baru, hanya penyempurnaan program sudah tertuang dalam APBD
sebelumnya yang telah ditetapkan antara DPRD dan Pemkot Bima.
Diduga
akan berdampak hukum, tiga fraksi di DPRD kota bima, Golkar, Nasdem dan
Gerindra menolak membahas dan menyetujuinya. Namun tiga fraksi, yaitu PKS, PAN
dan Demokrat malah setuju.
Saat
Paripurna digelar Selasa (30/12) akhirnya dua Pimpinan DPRD Kota Bima, Syamsurih
dan Rian Kusuma Permadi minus Alfian Indrawirawan menyetujuinya dengan lebih
lanjut akan dibawa kembali ke Gubernur NTB untuk diminta persetujuan.
Pantauan
media ini, dinamikan muncul saat paripurna dihadiri Wakil Wali Kota Bima, seluruh
anggota dari Fraksi Golkar, Merah Putih (Gerindra dan PDIP) tak hadiri
paripurna, sementara dari fraksi Nasdem dari tiga anggota DPRD hanya dihadiri
satu anggota.
Sementara
juru bicara Badan Anggaran (banggar) DPRD Kota Bima, Sukri Dahlan diduga
sengaja tak membacakan pandangan tiga fraksi menolak hasil pembahasan evaluasi
APBD 2026.
Wakil Ketua DPRD Kota Bima juga fraksi Golkar, Alvian Indrawirawan
menyampaikan bahwa penambahan anggaran seharusnya dibahas melalui tahapan resmi,
mulai dari perencanaan, pembahasan di Badan Anggaran, hingga disepakati bersama
antara DPRD dan pemerintah daerah.
“Jika ada penambahan anggaran yang muncul tiba-tiba tanpa
penjelasan yang rasional, tentu kami menolak untuk membahasnya,” tegasnya Dae
Pawan sapaan akrabnya.
Jelasnya, penolakan oleh fraksi Golkar jelas dan tegas berkaitan
dengan pelanggaran regulasi oleh Pemkot Bima. Jika SK hasil evaluasi APBD telah
dikeluarkan oleh Gubernur NTB, didalamnya DPRD dan TAPD Pemkot Bima hanya diminta
untuk menyempurnakan lagi program sudah tertuang sesuai pagu anggaran awal.
“Bukan lagi ditengah evaluasi malah menambah lagi anggaran belanja
baru, hanya penyempurnaan belanja sudah ada saja,” pungkasnya.
Pun saat pimpinan DPRD dan TAPD Pemkot Bima konsultasi ke Provinsi
NTB, tegas disampaikan oleh pejabat setempat, anggaranan dadakan diusulkan
Pemkot Bima tak diperbolehkan.
Pemprov NTB melarang dilakukan pergeseran belanja setelah ada
hasil evaluasi dari gubernur NTB. Kalaupun dipaksa oleh Pemkot Bima dan
sebagian fraksi di DPRD maka gubernur tak akan menerbitkan Nomor Regisrasi
untuk APBD 2026.
“oleh karena itulah kami bersama fraksi Merah Putih menolak, bahkan
tadi malam saya tinggalkan ruang rapat karena tak mau terlibat,” ungkapnya.
Tambahnya, perencanaan APBD itu bukan tiba masa tiba akal, tetapi
ada mekanisme wajib dilalui, mulai dari RKPD, KUA PPAS lanjut hingga masuk di
Rancanganan Perda APBD, Evaluasi hingga penetapan Raperda APBD menjadi Perda “
perenanaan APBD 2026 memang amburadul,” tegasnya.
Harusnya TAPD Pemkot Bima memasukan rencana anggaran tersebut
sejak awal, tentunya kami di lembaga Legislatif akan mendukung, apalagi
berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Bukan malah telah selesai pembahasan
dimasukan.
Tebukti sekarang, untuk membiayai program dadakan tersebut Pemkot
Bima menaikan asumsi belanjanya, pertanyaanya apakah realistis dan mampu
dicapai.
Perwakilan Fraksi Merah Putih, Abdul Rabbi tegas sampaikan penolak, selain melanggar perundang-undangan juga jika melihat adanya keraguan yang kuat dari TAPD terhadap sumber pendanaannya.
Mengenai rencana penambahan anggaran untuk operasional RSUD yang
memiliki sumber pendanaan yang diragukan kepastiannya tersebut maka fraksi
merah putih menolak, apalagi penambahan anggaran tersebut pasca/setelah evaluasi APBD
dilakukan.
Dalam hal ini Fraksi Merah Putih lebih menyarankan agar menunda
belanja lainnya yang tidak urgen, tidak prioritas dan tidak berdampak langsung
pada sosial ekonomi masyarakat untuk kemudian dialihkan pada belanja
operasional RSUD yang belum dianggarkan secara cukup sejak awal APBD diajukan
oleh TAPD.
Pertanyaan kami juga terkait sumber anggaran dadakan ini yang tidak
pasti atau diraguakan, apalahi dengan cara menaikan menaikan asumsi pendapatan
lain-lain dan penambahan pendapatan RSUD, apakah mampu direalisaikan hingga
akan menyebabkan APBD tak sehat nantinya.
Menurut ketiga fraksi tersebut, pembahasan anggaran yang tidak
transparan berpotensi menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari serta
mencederai prinsip akuntabilitas dan kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan
daerah.
Selain itu, fraksi-fraksi tersebut juga menyoroti minimnya dokumen
pendukung dan penjelasan teknis terkait urgensi penambahan anggaran dalam APBD
hasil evaluasi 2026. Mereka meminta pemerintah daerah untuk bersikap terbuka
dan menyampaikan dasar hukum serta kebutuhan riil dari setiap usulan anggaran.(red)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar merupakan aspirasi pembaca dan tidak merepresentasikan pendapat JangkaBima. Mohon selalu sampaikan pendapat dengan sopan dan tidak melanggar SARA.